Minggu, 09 November 2014

kaki terus berayun sampai batas langkah
panas aspal mengirimkan perih di kuli
mengelupaskan dengan ganas tanpa syarat
musim hujan datang
membalut telapak dengan lumpur
mengalirkan rasa beku
membuat kulit ujung jari berkerut resah
kaki ini tlah melewati dan bersahabat dengan musim apapun
musim berjalan bersama ribuan langkah kecilnya

Selasa, 04 November 2014

yang banyak atau tipis itu peluang.
yang tidak boleh berkurang itu niat
yang tidak boleh hilang itu harapan
yang tidak boleh dibuang itu semangat.
semangat desi.....
0,0000000 persen pun ayo jabanin

Sabtu, 01 November 2014

Sebagian orang bilang anak adalah anugerah dari Tuhan, sehingga ia dirawat dengan segenap cinta yang dipunya orangtuanya.
Di sepertiga malam, di setiap sujud, disela kegiatan sehari-hari banyak beterbangan doa-doa dan pengharapan perempuan-perempuan yang belum diizinkan Tuhan merawat seorang anak. sambil matanya berbinar ketika melihat ada anak kecil di sekitarnya.
Sementara banyak berita di televisi menyiarkan sesosok bayi ditemukan di dalam kantong plastik, di sungai dan entah masih banyak tempat lagi.
Jika saja seorang anak bisa memilih, dia akan memilih tumbuh besar dan hidup bersama orangtua yang menginginkan kehadirannya. Bukan yang menyia-nyiakannya.
Karena ia mestinya tumbuh ditengah kehangatan dan kasih sayang. Punya orang untuk menanyakan hal-hal baru, punya tangan untuk digandeng, punya raga untuk dipeluk, dan sebuah tangan yang mengelus lembut rambutnya.
Terlalu kompleks masalah anak yang ada di dunia ini. Namun indahnya, Tuhan membagi rata senyuman kepada mereka. dari sekian anak yang pernah ku temui, tidak ada yang kehilangan senyumnya. Dan aku selalu berharap begitu.
Berada di jurusan PGSD ini membuatku bertemu dan berinteraksi langsung dengan banyak anak, tentunya dengan karakter dan latar belakang keluarga yang bermacam-macam. Meski aku baru terjun. Dan ini adalah pengalaman awal. Dari sejak pertama kali terjun laangsung ke SD, ada beberapa anak yang membuat hatiku jungkir balik gak karuan memikirkan nasib mereka.
2012-12-14 07.56.40.jpgYang pertama adalah Muhammad Ghaffar.
Text Box: mengnakan kaos putih kombinasi orangeSekilas saat pertama bertemu dia sama saja dengan teman-temannya yang lain. Ketika ku sapa, dia tersenyum. Ku ajak bicara, dia tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya. Baru aku tahu bahwa dia bukan anak biasa. Dia luar biasa. Kita menyebutnya dengan sebutan tuna rungu. Dunianya tanpa suara dan tanpa kata. Cara berkomunikasinya berbeda dengan teman-temannya. Tapi mereka tetap bermain dengan bahasa yang sama, bahasa keceriaan.
Dari obrolan dengan orangtuanya, diketahui asal-usul kondisi Ghaffar yang sekarang. Dulu, ayahnya menjadi TKI ke luar negri. Sedang sang ibu berprofesi sebagai pedagang di pasar, berangkat pagi-pulang sore hari. Sehingga Ghaffar dirawat oleh neneknya. Sang nenek, tidak mengerti apa lah itu imunisasi dan sebagainya. Virus polio, bersarang ditubuh kecilnya. Mulanya ia tidak bisa berjalan sama sekali. setelah melakukan pengobatan, akhirnya di umur 6 atau 7 tahun Ghaffar bisa berjalan. Suatu kemajuan yang amat disyukuri oleh keluarganya, meski alat indranya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini membuat sang ayah memutuskan untuk pulang dan merawat Ghaffar. Di tahun 2012, di usianya yang ke 11 tahun, Ghaffar masih duduk di kelas 1 SD. Guru-guru mengakui kesulitan dalam memberikan pelajaran, karena dia berbeda. Sehingga untuk Ghaffar diberikan cara khusus. Sedangkan saat ditanya mengapa tidak disekolahkan di SLB saja bu? Orangtuanya menjawab, “gak ada yang nganter mbak. Sudahlah yang penting Ghaffar sekolah, sama seperti anak-anak lainnya.”
Ghaffar tetap bermain dan tersenyum, tanpa merasa ada yang salah pada dirinya. Karena pada dasarnya dia memang tidak bersalah. Tidak sama sekali. ini adalah jalan hidup yang harus ditempuhnya. J
Yang kedua adalah Wildan Harish.
Pertama kali bertemu dengannya dia sedang duduk sendiri di bangku taman di  luar kelasnya. Sementara siswa yang lain di dalam kelas mengikuti pelajaran, bernyanyi bersama sang guru di dalam kelas.
Ku sapa dia, “kamu kok gak masuk?”
Dia hanya mengangkat bahu dan menggeleng.
“kamu gak suka nyanyi ya?” tebakku
Dia tersenyum dan mengangguk mantap
“sukanya ngapain?”
“masak” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“oh ya? Bisa masak apa?”
Seketika itu juga aku dijelaskan panjang lebar tentang cara memasak omlet oleh seorang anak berseragam merah putih yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Penjelasannya sangat benar dan berurutan. Semua bahan-bahan yang disebutkan tidak ada yang luput. Aku tersenyum geli tingkahnya.
Keesokan harinya aku  mendengar teman-teman PPL bercerita tentang, katanya anak paling nakal di kelas 4. Setelah mengetahui yang mereka maksud adalah Wildan, anak yang mengobrol denganku kemarin, aku tidak percaya dan justru heran, “nakal apanya?” pikirku dalam hati.
Dari obrolan dengan wali kelas 4 juga, mengatakan bahwa anak paling nakal di kelas itu adalah Wildan. Dan dia sengaja ditunjuk menjadi ketua kelas. Kurang lebih seperti ini tuturannya, “yang paling nakal di kelas itu si Wildan, dek. Kalau kamu bisa menaklukkan anak satu itu, sudah, aman kelas. Makanya dia sengaja saya pilih jadi ketua kelas.” Ibu terdiam sejenak, menarik nafas dan melanjutkan, “dia itu bukan Cuma nakal. Sudah berapa kali dia ketahuan mencuri uang teman-temannya. Padahal dia anak orang berada. Tapi dia memang tidak dirawat oleh orang tuanya. Dia yatim. Dan ibunya juga pergi bersama suami barunya. Ya begitulah jadinya anak itu.”
Di hari lain aku berbincang lagi dengan Wildan di tempat yang sama. Salah seorang guru yang lewat didepan kami berkata sambil menunjuk Wildan, “ini anak paling nakal bak disini.” Tidak salah lagi, bapa itu berbicara padaku. Aku hanya tersenyum.
Begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Semua seolah sepakat mengecap dia adalah anak nakal. Padahal jelas-jelas semuanya sudah tahu latar belakang keluarganya, yang membuat dia mencari perhatian di luar.
Aku malah berpikir, jangan-jangan julukan “anak nakal” itulah yang membuatnya menjadi “anak nakal”.
Sampai sekarang Wildan masih menjadi “anak nakal” di mata orang-orang sekitarnya. Anehnya dimataku dan beberapa teman PPL dia adalah anak yang harus diberi perhatian lebih. Itu sebabnya kami dengan terbuka menyambutnya apabila dia datang menemui kami bahkan jika dia menanyakan atau membiacarakan hal sepele. Di mata kami dia anak yang aktif, dan cepat akrab dengan orang. pastilah di masa depan petemannya akan banyak dan pergaulannya luas.
Seorang anak tidak pantas dipersalahkan bahkan dalam hal kecil. Karena mereka sedang belajar. Belajar benar dari kesalahan yang dilakukannya.
Dan untuk Wildan, kuharap ia tidak tumbang oleh gempuran julukan negative yang ditujukan padanya. Semoga ia tumbuh besar bersama sifat-sifat positifnya. J
Senyum manis yang tulus, tingkah laku yang apa adanya, tawa yang lepas dan ceria, rasa ingin tahu dan semangat yang menggebu, semua ekspresi yang tanpa dibuat-buat. Aku masih heran jika ada orang yang tidak terenyuh hatinya. Untuk melindungi, membimbing, atau setidaknya tidak merusak kebahagiaan murni itu.