Senin, 06 Juli 2015

tragedi si PHP dan si Baper

Cowok itu tukang PHP, rata-rata.
Cewek itu rentan Baper, kebanyakan.
Cewek Baper ketemu sama cowok PHP, maka di akhir cerita akan ada sesi galau berat dan akan muncul kalimat klise  sejenis “aku nyesel. Aku janji, lain kali aku gak mau gampang percaya sama cowok”. Tapi ternyata wabah Baper itu gak gampang sembuhnya. Gak lama, cerita yang sama terjadi lagi, dengan pemeran cowok yang berbeda. Jadinya ada cewek yang bisa bilang “semua cowok sama aja”
Rata-rata cerita cinta jaman sekarang.
This is real story about my friend.
Ada yang bilang kalo cewek paling susah ngelupain orang yang bener-bener disayanginya. Dan saya setuju. Pengalamanku pribadi, dan ditambah curhatan teman-teman. Oke, sebenernya ngelupain itu gak mungkin, keculai kita jadi amnesia. Mungkin lebih tepatnya, menjadi “biasa” akan segala hal yang berkaitan dengan dia. Atau lebih tepatnya lagi, menghilangkan rasa. Jadi, buat para cowok, kalo ketemu mantan trus kamu tanya apa dia udah lupain kamu atau belum, lalu dia jawab bahwa dia udah bisa lupain kamu, maka ada dua kemungkinan. Satu, dia bohong. Dua, dia memang gak pernah bener-bener sayang sama kamu. Yup, aku yakin 95% sama teori ini. teori ini berlaku selama gak ada “orang lain” di hatinya.
Oke, back to my friend. Ini kisah tentang si Baper dan si PHP. Cerita sejenis mungkin akan banyak ditemukan di luar sana.
Temanku ini, dia udah putus sama pacarnya pas semester awal, semester satu atau dua, aku agak lupa. Hubungan ini putus nyambung putus nyambung kayak komunikasi via telpon kehabisan signal. Di semester tiga mereka balikan, semester selanjutnya putus lagi, begitu seterusnya sampai akhirnya putus beneran. Kami sebagai teman-temannya menjadi pendengar setia. Saat dia datang dengan wajah tertekuk “aku putus”. Pertama kali, kami prihatin akan keadaannya. Mengelus pundaknya dan bilang “gak pa-pa. Sabar aja. Memangnya putus kenapa?” beberapa waktu kemudian dia datang dengan wajah suringah, “aku balikan”. “waw... seneng dong. Gimana gimana ceritanya?”
Next, “aku putus lagi”. Kami mulai bertanya-tanya. Ini cowok serius gak sih?
Lalu, “aku balikan lagi loh.. hihihi”. Kami bertanya-tanya lagi, ini anak serius?
Beberapa kali cerita serupa terjadi, seolah menjadi cerita biasa yang tidak mengejutkan. Mendengar berita dia putus atau balikan sama cowoknya udah sama kayak denger orang becerita tentang perputaran bumi. Tinggal tunggu malam pasti datang, pagi pasti datang. Sekarang dia putus, besok pasti balikan.
Leganya, kondisi seperti ini ada akhirnya. setelah deklarasi putus kesekian kalinya diumumkan, sampai saat kami lulus kuliah, kami belum mendengar kabar “balikan” itu. Selang beberapa waktu setelah deklarasi putus terakhir itu, ada seorang cowok yang deketin dia. Teman lamanya. Bekerja di Jakarta.
“masak di sms dia bilang gini sih? Dia mau berhenti kerja. Mau pulang ke Madura. Mau cari kerja deket sini aja. Biar bisa deket sama seseorang”.
Saat itu juga muncul praduga diantara kami bahwa “sesorang” yang dimaksud adalah temanku.  “tapi kamu jangan GR dulu. Bisa jadi bukan.”
Di waktu yang lain,
“dia cerita lagi soal mau berhenti kerja itu. Kayaknya dia serius. Trus begitu dia pulang kesini, dia bilang mau main kerumahku. Pas aku tanya mau ngapain, katanya mau ketemu sama orangtuaku”. Surprise sih dengernya. Semua orang pasti berpikiran bahwa ini merupakan kode dari si cowok. Begitu pula aku dan teman-teman. Tapi  sekali lagi kami mengingatkan “jangan gampang percaya dulu, dan jangan diladenin serius dulu”. Seolah memiliki firasat yang sama, temanku itu langsung mengiyakan.
Komunikasi via sms dan segala sosial media yang ada nampkanya terus berlanjut. Dari semua isi pesan dari cowok itu, yah, seperti menjajikan sesuatu. Dia menceritakan rencana tentang masa depannya, pake embel-embel yang menjurus pula “iya dong, nanti kalo udah dapet kerja lagi, kan baru berani halalin anak orang” atau “ah, daripada bingung-bingung, aku mending halalin kamu aja, gimana?”
Sampai puncaknya, beberapa hari setelah wisuda kami, cowok itu benar-benar merealisasikan niatnya, pulang ke Madura.  Dan menginjakkan kaki dirumah temanku. Malu-malu bersalaman dengan orangtua temanku. Esok paginya, dengan rona merah di pipi, ia menceritakan semuanya pada kami, urut secara kronologis. Bagaimana cowok itu sampai dirumahnya, sapaan pertama mereka, tentang apa yang menjadi topik obrolan, bagaimana cowok itu menyapa orangtuanya. Semuanya. Dan kami mulai berpikir tentang keseriusan cowok itu. “dan, dia juga ngajakin buat nyari kerja bareng!” katanya masih sambil tersenyum.
Waktu berputar, perasaan temanku terhadap cowok itupun berputar seperti bola salju, yang awalnya kecil, berputar terus menerus menjadi besar. Kami mulai berpisah, kembali ke kampung halaman masing-masing. Aku mendengar ceritanya hanya sesekali, melalui sms, atau chat di facebook. Semacam ada kemajuan.
Pernah dia bercerita tentang kebahagiaannya sewaktu mendapat restu dari orangtuanya untuk dekat dengan cowok ini. “wah senengnya, trus kapan dong diseriusin? Ditindak lanjuti.” Jawabnya sambil tersenyum malu, “ya doain aja.. tahun depan”.
Tapi suatu malam, aku mendapat pesan di facebook. Dari temanku itu.
“jangan heboh soal ‘dia’ lagi ya... aku udah males. Ijah sayang, aku ngilang dulu ya... bener-bener udah sakit hati banget. Peluk dari jauh ya...”
Loh loh ada apa ini?
Langsung saja, tidak lain dan tidak bukan, si cowok sekarang meresmikan hubungan dengan perempuan lain.
Oke, cerita ini tentang si PHP dan si Baper. Lalu siapa yang salah? Aku gak memungkiri, sebagai teman dari pihak perempuan, aku dongkol setengah mati dan menyalahkan tukang PHP itu. Benar-benar PHP yang hebat, sampai bisa membuat percaya teman-teman dan orangtuanya. Tapi apa temenku sepenuhnya adalah korban? Dia tidak salah? Ya, dia korban. Tapi yang menjadikan dia sebagai korban adalah dirinya sendiri. Kesalahannya adalah, membiarkan dirinya terlalu berharap pada sesuatu yang belum pasti.
PHP dan Baper. Keduanya memiliki kontribusi yang sama. Ibaratnya, jika tukang PHP adalah maling, maka si Baper adalah tuan rumah yang lalai dalam menjaga rumahnya.
Aku prihatin dan bersedih atas kejadian yang menimpa temanku ini, tapi semoga ini menjadi pelajaran buat dia, buat aku,dan teman-teman yang mengetahui ceritanya. Karena temanku ini, aku semakin yakin bahwa sebenar-benarnya penyembuh hati hanyalah mendekatkan diri pada Allah. Bahkan aku mengatakan, “pegang prinsip ini. jangan percaya sama janji yang diberikan laki-laki, jangan jadikan ucapannya sebagai angan, seolah dia akan menjadikannya nyata, sampai dia datang kepada orangtuamu, meminta izin untuk meminangmu. Sampai saat itu tiba, teguhkan hatimu, keraskan. Seolah tidak ada yang akan bisa memasukinya. Jangan sampai terpengaruh”.
Bukankah juga dikatakan bahwa “janganlah kamu mencintai seseorang secara berlebihan, padahal belum tentu orang itu menjadi jodohmu”. Kalau sudah cinta banget, tapi ternyata gak jodoh, duh sakitnya pasti dimana-mana.
Sudah cukup rasanya perempuan dan laki-laki saling menyalahkan, apabila hubungannya berakhir dengan tidak baik. Daripada menyalahkan orang lain, mengapa tidak kembali mengintrospeksi diri? Oh, ternyata salahku, aku memberikan banyak harapan padanya, padahal aku tidak serius, padahal aku belum berani, belum mampu menjalin hubungan serius dengannya. Oh, ternyata salahku, aku terlalu GR, menganggap serius semua omongnnya, terlalu gampang tergiur, terlalu gampang percaya. Hehe... tapi andai saja semua orang berpikiran seperti itu.
Wassalam.

Sampai jumpa dicurhatan selanjutnya.