Kamis, 17 September 2015

kisah Plato dari seorang wali murid

pernah mendengar kisah Plato dan pertanyaannya mengenai “cinta sejati”?
aku sudah lama mendengar kisahnya. Dan aku sangat menyukai kisah yang sarat makna itu. Untuk mengingatkan, kurang lebih begini ceritanya, (using my own words)

            Suatu hari Plato bertanya pada gurunya, “apakah cinta sejati itu?”
        Untuk menjawab pertanyaan itu, sang guru mengajak Plato ke sebuah taman yang penuh dengan bunga. Lalu sang guru berkata “masuklah ke taman itu, dan janganlah kembali atau berjalan mundur. Pilihlah dan petiklah satu bungan yang kau anggap paling indah”
        Plato mulai berjalan menyusuri taman itu, memandangi satu-persatu bunga sambil terus berjalan tanpa kembali ke belakang seperti perintah gurunya. Sampai akhirnya Plato keluar dari taman dan menemui gurunya. Sang guru yang heran karena mendapati tangan Plato yang kosong bertanya “mengapa engkau tidak memperoleh bunga?”
        “tadi dalam perjalanan aku melihat satu yang menawan, namun ku pikir di depan pastilah masih banyak yang lebih menawan. Jadi aku tidak memetiknya. Setelah sampai di ujung taman, barulah aku sadar. Bahwa tidak ada lagi yang lebih menawan daripada bunga itu”
        Sang guru tersenyum dan berkata “maka itulah cinta sejati”

            Selesai. Sampai disitu kisah yang selalu ku dengar. Bunga yang paling menawan akan tetap menjadi yang paling menawan meski di antara ribuan bunga yang lain. Apabila tidak memetik yang paling menawan, mana bisa memetik yang lain? Apabila melewatkan kesempatan memetiknya? Sungguh malangnya. Karena memetik bunga paling menawan pastilah berbeda dengan memetik bunga yang lain.
            Lalu hari ini, dari seorang wali murid kelas ku, aku mendapat kelanjutan ceritanya. Sungguh, terimakasih, ibu, untuk ilmu barunya. J
            Setelah mendapat jawaban tentang cinta sejati, Plato kembali bertanya, “lalu apakah pernikahan itu?”
        Kemudian sang guru mengajak Plato ke sebuah hutan, “masuklah ke dalam hutan tersebut, dan sekali lagi jangan kembali atau berjalan mundur. Tebanglah satu pohon yang kau anggap paling kokoh, paling lebat dan paling tinggi”
        Masuklah Plato ke dalam hutan. Lalu menebang sebuah pohon dan membawanya menghadap sang guru.
        Sang guru bertanya, “mengapa kau menebang pohon ini? bukankah masih banyak pohon lain yang lebih kokoh, lebih tinggi, dan lebih lebat?”
        Plato menjawab, “aku belajar dari pengalamanku di taman bunga itu. Meski banyak pohon yang lebih bagus, tapi aku pikir pohon ini juga tidak buruk. Maka aku menebangnya.”
        Sang guru tersenyum dan berkata “maka itulah pernikahan”
           
Aku pun tersenyum sendiri setelah mendengar lanjutan  kisah yang baru ku dengar ini. “lalu apa intinya bu?”
“intinya adalah penerimaan. Menerima dengan tulus dan ikhlas. Apa adanya. Kelebihan maupun kekurangan dari apa yang telah kita pilih. Dari orang yang telah kita pilih.”
            Mendengar itu senyumku semakin lebar dengan mulut berbentuk “oooo....” J

            

Kamis, 10 September 2015

:)

Tidakkah semua orang pernah menanyakan ini?
Aku bertanya dengan kalimatku: bagaimana masa tuaku ya?
Mungkin banyak orang bertanya dengan bentuk lain.
Akan seperti orang tua yang mana aku?
Mbah,
Setelah jam tujuh pagi beliau praktis penghuni rumah satu-satunya. Pak de dan bu de pergi kerja, dan dua sepupuku pergi sekolah. Hanya sesekali tukang setrika datang menjadi temannya. Mengisi kekosongan itu, kegiatannya hanyalah mengaji dan mendengarkan radio. Sungguh aku suka sekali kegiatan yang beliau pilih.
Sore hingga malam hari beliau baru merasakan senangnya berkumpul bersama keluarga.
Bila hari raya tiba, beliau merasakan indahnya menjadi tempat pulang bagi anak-anak dan cucu-cucunya. J
Beliau tidak banyak menuntut. Beliau cukup sederhana. Aku tidak pernah mendengar ceritanya secara utuh. Aku tahu sepotong-demi sepotong bahkan di beberapa bagian aku menyasikan sendiri. Beliau telah menghadapi banyak ujian, so she deserve to this happiness.

Perempuan hebat yang membesarkan enam anak dengan penuh kesederhanaan. Aku berani mengatakan aku lebih mengagumi mbah daripada mama. Hehe