“matanya berkaca-kaca” begitu yang
Mbah ingat. Sorot mataku menunjukkan rasa penasaran namun lebih pada tidak
percaya. Benarkah? Seakan bisa membaca itu, Mbah menegaskan dengan anggukan.
Dan aku mulai membayangkan sosok pendiam itu dengan rasa haru yang membuat
matanya berkaca-kaca. Seketika mataku pun berembun.
Kata pertama yang tepat untuk
menggambarkan sosoknya adalah, pendiam. Selanjutnya, aku bisa menggunakan
banyak kata positif. Bersahaja tanpa banyak kata. Jika aku ditanya tentang
sosok suami idaman, aku akan mengatakan yang seperti dia. Bukan papa. Tapi dia.
Anak tertua dari Mbah. Ya, Pak De.
“kami bersaudara rata-rata selalu
menjadi juara kelas. Cuma Kakak yang tidak pernah. Bahkan di raport ada nilai
lima nya. Tapi dia tidak pernah minder atau iri sama adik-adiknya. Malah
menyemangati. Dan Mbah juga tidak pernah mempersoalkan masalah nilai. Selalu
menghargai kemampuan anaknya.” Begitu cerita mama. Mama pun begitu. Setiap kali
bercerita tentang kakaknya itu, ada cahaya di matanya, menyinarkan kekagumannya.
“meski pas-pasan secara akademik, tapi sifatnya luar biasa. Agamanya juga
sangat bagus. Suara adzannya merdu sekali”.
Aku terkesiap tidak percaya, “oh ya,
ma?”
“loh, gak percaya? Iya, beneran. Dulu
waktu masih bujang dia tukang adzan”
“tau gak,waktu sepupu mama terang-terangan
minta tanda tangan mau jual tanah warisan yang mestinya mama sesaudara juga
punya bagian?” aku mengangguk, teringat mama pernah menceritakan itu. “semua
adik-adiknya nurut, karena kakak bilang untuk dikasi aja. Artinya kita gak
dapat bagian. Yasudah, semua tandatangan. Begitu pak de mu, gak pernah tamak
masalah gono-gini. Memberi contoh yang baik sama adik-adikanya. Coba lihat
sampe sekarang, mana ada ceritanya kita rebutan warisan?”
Lagi-lagi aku mengangguk setuju.
“trus, tiba-tiba setelah menjual
tanah, sepepu itu datang lagi ke kakak. Mau pinjam uang 10 juta. Heran ya, buat
apa uang hasil jual tanahnya?”
Aku pun bertanya-tanya. Memang selalu
ada saja manusia yang merasa tidak pernah cukup akan uang.
“namanya juga Pak De mu, orang mau
pinjam malah dikasi. Minta maaf sambil bilang kalau uang segitu gak punya, tapi
pulangnya disalamin 500 ribu. Bener-bener sifat baiknya itu yaa...”
Aku tersenyum. Membayangkan adegan
itu. Pak De paham cara membalas sesuatu yang kurang baik dengan kebaikan.
Aku juga sangat menyukai caranya
mendidik sebagai seorang ayah. Tetap tanpa banyak kata. Ayah dari dua sepupu
lelakiku, Dek Alif dan Dek Adri. Mereka pun tumbuh menjadi sosok yang irit
kata. Mereka tumbuh tanpa tuntutan untuk mendapat nilai akademis yang baik,
tidak seperti anak-anak yang lain. Tak ada teriakan di rumah itu, semuanya
berjalan dengan kalem. Pernah saat sahur, aku menyaksikan dan semakin terkagum.
Ketika dua sepupuku itu bukannya malah makan sahur, tapi menatap khusuk acara
di TV. Bu De berkali-kali menghimbau,”mas, adek, ayo makan. Nanti keburu
imsak.” Begitu terus, tapi tidak ada respon. Tanpa berkata apapun, Pak De yang
baru datang dan melihat situasi itu, langsung mengambil dua piring, mengisinya
dengan nasi dan lauk, satu piring diberikan kepada Dek Alif, yang sudah SMA dan
jelas bisa makan sendiri, dan dari satu piring lagi dia gunakan untuk menyuapi
Dek Adri yang masih SD. Benar-benar tanpa kata-kata. Dan aku terkagum
dibuatnya.
Dan suatu hari, dia pulang dengan
mata berkaca-kaca. Menceritakan penyebabnya masih sambil berkaca-kaca, pada
ibunya. Hal ini terjadi saat Pak De mengambil raport di sekolah Dek Adri. Dek
Adri tidak jauh beda dengan ayahnya secara sifat. Secara wajah, orang bilang
Adri adalah kembarannya Bak Desi. Entahlah, aku tidak merasa mirip. Mungkin
karena aku perempuan dan dia laki-laki.
Berbeda tahun-tahun sebelumnya, kali
ini sang guru mengumumkan peringkat kelas. Alasannya adalah, karena murid-murid
telah menginjak kelas enam. Mulailah sang guru berbicara di depan para wali.
“ya, kali ini kita memang akan
mengumumkan peringkat. Ada seorang siswa, yang begitu saya kagumi, dan
guru-guru lain juga mengaguminya. Dia anak yang pendiam, tidak banyak bicara.
Bermain seperlunya. Sopan, dan tidak banyak tingkah. Saat ulangan, jika
teman-teman yang lain mulai ribut dan terburu-buru mengumpulkan, dia berbeda.
Dia akan tetap duduk tenang di bangkunya, meski sudah selesai. Dan baru akan
mengumpulkan jika waktunya habis. selain akhlaknya yang baik, prestasi
akademiknya juga baik, sehingga dia menjadi nomor satu di kelasnya. Baiklah,
langsung saja saya sebutkan, dan dimohon berdiri untuk wali dari ananda
Addzikri”
Butuh dua kali panggilan untuk
meyakinkan idolaku itu. bahwa yang dipanggil benar-benar nama anaknya. Seketika
dia berdiri, disambut riuh tepuk tangan wali murid yang lain. Dan matanya mulai
berkaca-kaca. Sesampainya di rumah, sang istri juga ikut terharu. Tidak ada
yang menyangka anak keduanya akan memberi kejutan menggembirakan seperti itu.
berkali-kali Pak De berkata kepada Mbah, “saya kira dia tidak sepintar itu, Bu.
Ternyata saya salah”
Si Adri, yang mendengar ceritanya
diceritakan berkali-kali di rumah, hanya tersenyum cengengesan bin
menggemaskan. Dan dari senyum itu, ya aku rasa mereka benar. Mirip dengan
milikku. Tapi dia pasti tumbuh lebih luar biasa daripada aku. J