Selasa, 02 Februari 2016

Dek Adri

“matanya berkaca-kaca” begitu yang Mbah ingat. Sorot mataku menunjukkan rasa penasaran namun lebih pada tidak percaya. Benarkah? Seakan bisa membaca itu, Mbah menegaskan dengan anggukan. Dan aku mulai membayangkan sosok pendiam itu dengan rasa haru yang membuat matanya berkaca-kaca. Seketika mataku pun berembun.
Kata pertama yang tepat untuk menggambarkan sosoknya adalah, pendiam. Selanjutnya, aku bisa menggunakan banyak kata positif. Bersahaja tanpa banyak kata. Jika aku ditanya tentang sosok suami idaman, aku akan mengatakan yang seperti dia. Bukan papa. Tapi dia. Anak tertua dari Mbah. Ya, Pak De.
“kami bersaudara rata-rata selalu menjadi juara kelas. Cuma Kakak yang tidak pernah. Bahkan di raport ada nilai lima nya. Tapi dia tidak pernah minder atau iri sama adik-adiknya. Malah menyemangati. Dan Mbah juga tidak pernah mempersoalkan masalah nilai. Selalu menghargai kemampuan anaknya.” Begitu cerita mama. Mama pun begitu. Setiap kali bercerita tentang kakaknya itu, ada cahaya di matanya, menyinarkan kekagumannya. “meski pas-pasan secara akademik, tapi sifatnya luar biasa. Agamanya juga sangat bagus. Suara adzannya merdu sekali”.
Aku terkesiap tidak percaya, “oh ya, ma?”
“loh, gak percaya? Iya, beneran. Dulu waktu masih bujang dia tukang adzan”
 “tau gak,waktu sepupu mama terang-terangan minta tanda tangan mau jual tanah warisan yang mestinya mama sesaudara juga punya bagian?” aku mengangguk, teringat mama pernah menceritakan itu. “semua adik-adiknya nurut, karena kakak bilang untuk dikasi aja. Artinya kita gak dapat bagian. Yasudah, semua tandatangan. Begitu pak de mu, gak pernah tamak masalah gono-gini. Memberi contoh yang baik sama adik-adikanya. Coba lihat sampe sekarang, mana ada ceritanya kita rebutan warisan?”
Lagi-lagi aku mengangguk setuju.
“trus, tiba-tiba setelah menjual tanah, sepepu itu datang lagi ke kakak. Mau pinjam uang 10 juta. Heran ya, buat apa uang hasil jual tanahnya?”
Aku pun bertanya-tanya. Memang selalu ada saja manusia yang merasa tidak pernah cukup akan uang.
“namanya juga Pak De mu, orang mau pinjam malah dikasi. Minta maaf sambil bilang kalau uang segitu gak punya, tapi pulangnya disalamin 500 ribu. Bener-bener sifat baiknya itu yaa...”
Aku tersenyum. Membayangkan adegan itu. Pak De paham cara membalas sesuatu yang kurang baik dengan kebaikan.
Aku juga sangat menyukai caranya mendidik sebagai seorang ayah. Tetap tanpa banyak kata. Ayah dari dua sepupu lelakiku, Dek Alif dan Dek Adri. Mereka pun tumbuh menjadi sosok yang irit kata. Mereka tumbuh tanpa tuntutan untuk mendapat nilai akademis yang baik, tidak seperti anak-anak yang lain. Tak ada teriakan di rumah itu, semuanya berjalan dengan kalem. Pernah saat sahur, aku menyaksikan dan semakin terkagum. Ketika dua sepupuku itu bukannya malah makan sahur, tapi menatap khusuk acara di TV. Bu De berkali-kali menghimbau,”mas, adek, ayo makan. Nanti keburu imsak.” Begitu terus, tapi tidak ada respon. Tanpa berkata apapun, Pak De yang baru datang dan melihat situasi itu, langsung mengambil dua piring, mengisinya dengan nasi dan lauk, satu piring diberikan kepada Dek Alif, yang sudah SMA dan jelas bisa makan sendiri, dan dari satu piring lagi dia gunakan untuk menyuapi Dek Adri yang masih SD. Benar-benar tanpa kata-kata. Dan aku terkagum dibuatnya.
Dan suatu hari, dia pulang dengan mata berkaca-kaca. Menceritakan penyebabnya masih sambil berkaca-kaca, pada ibunya. Hal ini terjadi saat Pak De mengambil raport di sekolah Dek Adri. Dek Adri tidak jauh beda dengan ayahnya secara sifat. Secara wajah, orang bilang Adri adalah kembarannya Bak Desi. Entahlah, aku tidak merasa mirip. Mungkin karena aku perempuan dan dia laki-laki.
Berbeda tahun-tahun sebelumnya, kali ini sang guru mengumumkan peringkat kelas. Alasannya adalah, karena murid-murid telah menginjak kelas enam. Mulailah sang guru berbicara di depan para wali.
“ya, kali ini kita memang akan mengumumkan peringkat. Ada seorang siswa, yang begitu saya kagumi, dan guru-guru lain juga mengaguminya. Dia anak yang pendiam, tidak banyak bicara. Bermain seperlunya. Sopan, dan tidak banyak tingkah. Saat ulangan, jika teman-teman yang lain mulai ribut dan terburu-buru mengumpulkan, dia berbeda. Dia akan tetap duduk tenang di bangkunya, meski sudah selesai. Dan baru akan mengumpulkan jika waktunya habis. selain akhlaknya yang baik, prestasi akademiknya juga baik, sehingga dia menjadi nomor satu di kelasnya. Baiklah, langsung saja saya sebutkan, dan dimohon berdiri untuk wali dari ananda Addzikri”
Butuh dua kali panggilan untuk meyakinkan idolaku itu. bahwa yang dipanggil benar-benar nama anaknya. Seketika dia berdiri, disambut riuh tepuk tangan wali murid yang lain. Dan matanya mulai berkaca-kaca. Sesampainya di rumah, sang istri juga ikut terharu. Tidak ada yang menyangka anak keduanya akan memberi kejutan menggembirakan seperti itu. berkali-kali Pak De berkata kepada Mbah, “saya kira dia tidak sepintar itu, Bu. Ternyata saya salah”

Si Adri, yang mendengar ceritanya diceritakan berkali-kali di rumah, hanya tersenyum cengengesan bin menggemaskan. Dan dari senyum itu, ya aku rasa mereka benar. Mirip dengan milikku. Tapi dia pasti tumbuh lebih luar biasa daripada aku. J

Rabu, 09 Desember 2015

the "time" is coming

aku menulis tentang ini pada 24 November 2015

Di sebuah meja yang riuh oleh obrolan, aku menyadari sesuatu. Betapa segalanya telah banyak berubah. Di sela-sela kesibukan mulut-mulut mengunyah dan mengoceh, ada perasaan takjub yang tidak dapat digambarkan. Seperti terlempar ke masa kecil penuh kepolosan dan ditarik kembali ke masa sekarang, pikirku tak bisa dihalangi untuk tidak membandingkan kedua masa itu. Melihat lebih teliti perbedaan-perbedaanya.
Masih dengan orang-orang yang sama. Perasaan saling terikat yang sama. Namun topik perbincangan dan cara kami menanggapinya tidak  lagi sama. Satu-persatu dari kami menceritakan pengalaman saat seorang pria berniat melamar kami. Dengan reflek aku berkata, “sadar gak sih? Perasaan beberapa tahun lalu kita ceritanya gak gini. Aku ditembak si A, aku ditembak si B. sekarang? Aku dilamar si A. Bukan ditembak lagi. Udah tua ya kita?”
Seketika tawa pecah karena kami menyadari realita yang ada. Bahwa kami telah berumur. :D
Dulu yang kami ributkan dan pertimbangkan hanya masalah kekanakan.
“oh iya gapapa jadian sama dia. Dia cakep, keren.”
”jangan jadian sama dia. Nakal dia.”
“loh kamu jadian sama itu? Yakin? Yasudahlah terserah. Palingan bentar lagi putus”
Saat ini,
“dilamar dia? Yakin bisa jadi imam yang baik?”
“kamu maunya tetep keukeuh nikah sama dia? Awas loh, yang menurut kita baik belum tentu baik di mata Allah, begitu juga sebaliknya”
“kalo kamu masih digantungin, belum dilamar juga, tinggalin aja. Sekarang bukan saatnya lagi main-main. Jangan kelamaan pacaran.”
“belum direstui juga? Banyak berdoa. Minta petunjuk. Kalo dia emang jodoh kamu, minta dipermudah. Kalo dia bukan jodoh kamu, minta diperjelas.”
Hebatnya, aku yang tidak ada pengalaman adalah yang paling cerewet membari nasihat. Ujung-ujungnya saat tiba giliranku, “kamu kapan???”
Hahhha... santai mbak.
Oke, let’s talk about it seriously.
Buat aku, membicarakan masalah yang menjadi sensitif akhir-akhir ini, jodoh, bisa disamakan dengan perjalanan yang belum sampai di tempat tujuan. Yang perlu dilakukan hanyalah menikmati. Memikirkannya tidak apa, tapi sayang jika mengabaikan pemandangannya. Santai saja, berjalan dengan bahagia dan memegang keyakinan “pasti sampai”.
Saat sampai nanti, aku ingin kesiapanku sudah matang. Tanpa ada penyesalan ingin kembali menyusuri jalan itu  karena ada yang tertinggal atau lupa tak dinikmati. J
lalu seseorang yang meyakinkan bahwa perjalananku bisa jadi telah sampai, datang. seorang yang dewasa, mandiri, namun penuh humor. aku melihat padanya sosok yang bisa diandalkan. yang nyaman jadi teman berbincang... dan menyatakan keseriusannya. tapi... aku masih punya tanggungan perasaan. aku yakin bahwa dia orang baik. yang aku tidak yakin, tentang perasaanku pada seseorang yang lain.

pada 4 Desember 2015 aku menulis ini

Pada mendung ingin aku titipkan perasaan ini. biar menguap. Lalu menjadi air, yang mengalir entah kemana. Atau mungkin kembali lagi kesini. Kepadaku.
Untuk sebuah perasaan yang mengalir natural, yang membuatku bingung untuk menentukan namanya, yang kumiliki entah sejak kapan, dan yang tidak sempat terucap. Dengarkan ini.
Begitu indah memilikimu. Ada rindu, ada tawa, ada harap, ada cemas. Aku menikmatinya. Apakah kau bernama persahabatan? Jika iya, ingin selamanya aku bersamamu. Apakah kau bernama cinta? Jika iya, maafkan aku. Aku tidak akan lebih lama bersamamu.
Ini tentang perasaan yang ku miliki kepada seseorang. Entah apapun namanya, tapi dalam hati kecilku ada benci,kecewa, sedih, bahwa aku harus merelakannya pergi. Perasaan ini telah berteman lama dengan hatiku. Jadi saat harus aku lepas, ia membawa sekerat bagian dari hatiku.
Biarlah. Akan ku uapkan. Biarlah. Diserap awan. Biarlah ia tetap berada di atas, disimpan Tuhan. Atau jatuh kembali bersama hujan. Entah dimana.Saat kurasa begitu sakitnya melepas perasaan ini, saat itulah aku sadar. Ini cinta. Dan maafkan aku karena mencintaimu, tapi harus meninggalkanmu. Tapi tidak bisa bersamamu. 

rabu, 9 Desember 2015, seperti bom yang meledak. seperti gunung api meletus. keluarlah semua gumpalan-gumpalan rasa selama entah berapa tahun. sungguh, perasaanku tidak pernah salah. dia memang orang yang luar biasa. kami sepakat menguapkan perasaan ini. dia mengatakan, "kamu itu gak pernah peka ya, semua orang di sekitar kita tahu, tapi cuma kamu yang gak tau". di dalam hati aku pun mengiyakan perkataannya. bagaimana mungkin aku tahu perasaan orang lain saat aku sendiri tidak tahu perasaanku yang sebenarnya.
semuanya sudah selesai. perasaan itu, telah ku beri judul dan telah selesai ku tulis endingnya. tidak usah dibahas lagi.
Saat ini aku berpegang pada sebuah kata bijak, "perasaan cinta bukan dicari, namun ditumbuhkan". dan pada seseorang yang menyandarkan diri pada Sang Maha Cinta lah perasaan itu akan tumbuh. cukup aku tahu bahwa dia adalah seseorang yang mencintaiNya, maka aku tidak ragu, aku bisa mencintai dia, dan itu akan membuatku lebih mencintaiNya. :)
dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha penyayang...

Rabu, 9 Desember 2015. 20.05

Allah begitu baik padaku. Selalu memberiku jalan dengan panorama indah untuk dilalui. Tidak hanya indah, tapi penuh dengan pelajaran dan hikmah. Ketika Allah meletakkanku disini, aku begitu yakin akan ada banyak kejutan yang telah Ia persiapkan. Dan akan selalu ada tanganNya merangkul pundakku. Karena itu, aku selalu berjalan dengan gembira, tanpa takut pada kesedihan. Selama tanganNya masih erat di pundakku. Bagaimana mungkin aku rela melepaskan diri dari dekapan hangat dan kuat itu?
Maka, biarlah aku tinggalkan semua yang tidak baik di jalan lalu. Akan ku lupakan yang bukan hakkku, tentang perasaan yang salah, tentang rasa harap yang tak halal. Aku tidak ingin lagi dekapan yang lain, Ya Allah.
Sungguh, selama yang ku tempuh adalah jalanMu, aku tidak akan ragu untuk mengarunginya. Karena Allah pasti paling tahu segala sesuatu yang terbaik untukku. Tentang seseorang, yang Allah takdirkan untuk bertemu denganku, pastilah Allah kirim orang yang aku butuhkan, meski bukan yang aku inginkan. Ya, Allah pilihkan seseorang yang aku butuhkan untuk dapat lebih mesra denganNya. Seseorang yang aku butuhkan sebagai teman perjalanan. Hinga nanti, Allah berada diantara kami, merangkul dua pundak kecil yang melangkah bersama, menikmati cinta segitiga antara aku, dia, dan Allah. J betapa sempurnanya... semoga Allah mengabulkan.

Kamis, 12 November 2015

latepost

ada sosok bercahaya samar,
belum berani aku memandangnya.
sejauh ini, cahayanya tertangkap lewat lirikan dalam tundukku.
sepertinya ia indah, juga membawa ketenangan. namun mengapa ia tak bersinar terang?
kedatangannya, sungguh seberkas pelita dalam gulita.
namun sekali lagi mengapa ia tak kunjung terang?
samar, tak terang.
mengabur, tak benderang.
bilakah engkau kan terang?
aku bosan untuk redup lebih lama lagi

dari Lagu Bunda sampai Sel Telur

setiap harinya aku tak sabar menunggu cerita baru. menduga-duga apa lagi keajaiban tingkah yang akan mereka tunjukkan. di pagi hari saja aku sudah bisa tertawa olehnya. siapa lagi kalau bukan murid-murid ku yang multi-action itu.
kadang menyenangkan, kadang mengesalkan. kadang mereka begitu manis dan patuh, dengan sedikit kemanjaan yang wajar. tapi tidak jarang mereka mulai berulah dan membuat kepala pening. tapi tetap, menggemaskan. :)
dari mereka aku belajar merasakan perasaan berbeda dalam satu waktu. misalnya, mangkel sekaligus gemmmes.
dan sekali lagi, seperti yang sudah aku tahu tentang hal menyenangkan yang akan ku dapat dari profesi ini, tingkah mereka yang penuh kejutan.
pagi ini aku mendapati murid-murid perempuan sedang bernyanyi bersama serupa paduan suara. dengan serius dan khusuk mereka menyanyikan lagu "Bunda", aku terhanyut mengikuti alunan bening suara mereka. tapi sesampainya di suatu lirik, senyumku berubah menjadi tawa geli. "kata... mereka diriku selalu dimanja.... kata.. mereka diriku selalu ditimbaaaang"
gubrak!!!
another second, seorang murid bernama Kevin menghampiriku yang sedang duduk di bangku guru. beberapa saat yang lalu dia sempat ngambek entah kenapa. ku tanyakan alasannya, "Kev, kenapa tadi marah-marah?"
dan, bayangkan seorang anak kelas 3 SD mengucapkan ini:
"aku stress, ust"
what? semua orang dewasa pasti mengerutkan dahi mendengar pernyataan anak ini "stress kenapa, Kev? masih kecil kok sudah stress?"
"iya, ust... biar. aku stress. biar kalo stress sel telurnya gak bisa hamil!"
jawaban yang lebih mengejutkan. dan membuatku ingin tertawa guling-guling disitu.
"Kevin itu laki-laki, gak mungkin bisa hamil. karena yang punya sel telur itu perempuan":D

yah, setiap hari, aku mendapat obat kesedihan dari mereka. meski tak jarang kesedihan dan kemarahan datangnya dari mereka pula, namun perasaan itu bagai noda yang dengan cepat terguyur air. langsung habis tak bersisa saat kata maaf terucap dari lisan kecil itu, saat tangan mungil menyambut tanganku untuk diciumnya, saat dengan riang mereka memanggilku kembali, lalu menggamit tanganku, kembali menceritakan semua yang ingin diceritakannya. tentang ayah ibunya, tentang kakak adiknya, tentang hewan peliharaannya, segala tentang dunianya.

oh Allah, Thank you for this. I love this job. Thank you for put me here.:) <3


pada kelilipan:D. my student 3 b SDILH with wali kelas Ustadzah Aqidah

Kamis, 17 September 2015

kisah Plato dari seorang wali murid

pernah mendengar kisah Plato dan pertanyaannya mengenai “cinta sejati”?
aku sudah lama mendengar kisahnya. Dan aku sangat menyukai kisah yang sarat makna itu. Untuk mengingatkan, kurang lebih begini ceritanya, (using my own words)

            Suatu hari Plato bertanya pada gurunya, “apakah cinta sejati itu?”
        Untuk menjawab pertanyaan itu, sang guru mengajak Plato ke sebuah taman yang penuh dengan bunga. Lalu sang guru berkata “masuklah ke taman itu, dan janganlah kembali atau berjalan mundur. Pilihlah dan petiklah satu bungan yang kau anggap paling indah”
        Plato mulai berjalan menyusuri taman itu, memandangi satu-persatu bunga sambil terus berjalan tanpa kembali ke belakang seperti perintah gurunya. Sampai akhirnya Plato keluar dari taman dan menemui gurunya. Sang guru yang heran karena mendapati tangan Plato yang kosong bertanya “mengapa engkau tidak memperoleh bunga?”
        “tadi dalam perjalanan aku melihat satu yang menawan, namun ku pikir di depan pastilah masih banyak yang lebih menawan. Jadi aku tidak memetiknya. Setelah sampai di ujung taman, barulah aku sadar. Bahwa tidak ada lagi yang lebih menawan daripada bunga itu”
        Sang guru tersenyum dan berkata “maka itulah cinta sejati”

            Selesai. Sampai disitu kisah yang selalu ku dengar. Bunga yang paling menawan akan tetap menjadi yang paling menawan meski di antara ribuan bunga yang lain. Apabila tidak memetik yang paling menawan, mana bisa memetik yang lain? Apabila melewatkan kesempatan memetiknya? Sungguh malangnya. Karena memetik bunga paling menawan pastilah berbeda dengan memetik bunga yang lain.
            Lalu hari ini, dari seorang wali murid kelas ku, aku mendapat kelanjutan ceritanya. Sungguh, terimakasih, ibu, untuk ilmu barunya. J
            Setelah mendapat jawaban tentang cinta sejati, Plato kembali bertanya, “lalu apakah pernikahan itu?”
        Kemudian sang guru mengajak Plato ke sebuah hutan, “masuklah ke dalam hutan tersebut, dan sekali lagi jangan kembali atau berjalan mundur. Tebanglah satu pohon yang kau anggap paling kokoh, paling lebat dan paling tinggi”
        Masuklah Plato ke dalam hutan. Lalu menebang sebuah pohon dan membawanya menghadap sang guru.
        Sang guru bertanya, “mengapa kau menebang pohon ini? bukankah masih banyak pohon lain yang lebih kokoh, lebih tinggi, dan lebih lebat?”
        Plato menjawab, “aku belajar dari pengalamanku di taman bunga itu. Meski banyak pohon yang lebih bagus, tapi aku pikir pohon ini juga tidak buruk. Maka aku menebangnya.”
        Sang guru tersenyum dan berkata “maka itulah pernikahan”
           
Aku pun tersenyum sendiri setelah mendengar lanjutan  kisah yang baru ku dengar ini. “lalu apa intinya bu?”
“intinya adalah penerimaan. Menerima dengan tulus dan ikhlas. Apa adanya. Kelebihan maupun kekurangan dari apa yang telah kita pilih. Dari orang yang telah kita pilih.”
            Mendengar itu senyumku semakin lebar dengan mulut berbentuk “oooo....” J

            

Kamis, 10 September 2015

:)

Tidakkah semua orang pernah menanyakan ini?
Aku bertanya dengan kalimatku: bagaimana masa tuaku ya?
Mungkin banyak orang bertanya dengan bentuk lain.
Akan seperti orang tua yang mana aku?
Mbah,
Setelah jam tujuh pagi beliau praktis penghuni rumah satu-satunya. Pak de dan bu de pergi kerja, dan dua sepupuku pergi sekolah. Hanya sesekali tukang setrika datang menjadi temannya. Mengisi kekosongan itu, kegiatannya hanyalah mengaji dan mendengarkan radio. Sungguh aku suka sekali kegiatan yang beliau pilih.
Sore hingga malam hari beliau baru merasakan senangnya berkumpul bersama keluarga.
Bila hari raya tiba, beliau merasakan indahnya menjadi tempat pulang bagi anak-anak dan cucu-cucunya. J
Beliau tidak banyak menuntut. Beliau cukup sederhana. Aku tidak pernah mendengar ceritanya secara utuh. Aku tahu sepotong-demi sepotong bahkan di beberapa bagian aku menyasikan sendiri. Beliau telah menghadapi banyak ujian, so she deserve to this happiness.

Perempuan hebat yang membesarkan enam anak dengan penuh kesederhanaan. Aku berani mengatakan aku lebih mengagumi mbah daripada mama. Hehe

Rabu, 19 Agustus 2015

RINDU

rindu,
lawannya adalah bertemu
jika kau rindu, itu karena tak bertemu
jika bertemu, maka kau tak lagi rindu
namun untuk merasa rindu,
pertemuan adalah pintunya
pintu yang ku buka perlahan,
dimulai dari hari perpisahan itu
rasanya semakin pilu
ketika sudah ku buka pintu lebar-lebar,
hanya desau angin yang semakin kencang
membawa daun kering yang gugur bersama airmata
hai angin, dalam hembusan yang badai ini
mengapa tak kau bawa serta suaranya?
mengapa tak kau lukiskan siluetnya di awan?
Bantu aku,
Bantu aku melawan rindu

Lawan rindu hanyalah bertemu