Sabtu, 10 Mei 2014

catatan tadi sore

Sore hari yang menganggur, bagi ahlinya melamun dan menghayal sepertiku tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding duduk diam sendiri tanpa melakukan apapun.
Kalau ada yang melihat posisiku saat ini, mungkin mereka akan mengira aku  berlatih peran sebagai orang gila yang dikurung dalam ruangan, atau seorang tahanan yang mendamba kebebasan. (cie gitu banget sih) tapi menempelkan wajah dan tangan di teralis besi jendela kamar sambil menatap kosong keluar itu benar-benar pose orang gila dirumah sakit jiwa atau tahanan dalam penjara, De! Ya setidaknya itu yang ku lihat di film-film.
Aku sedang melihat langit berawan  yang mulai berwarna-warni. Kurasa warnanya pink, ungu, orange, kuning, seperti terbakar, entahlah. Dan dua pohon kersen di depan kos. Ya, hanya pemandangan itu yang terbingkai oleh jendela kamar kosku. Eits, kali ini aku tidak menghayal berjalan diatas awan atau memindahkan pohon-pohon itu ke dalam kamar, tidak. Awan dan pohon itu hanya mengingatkanku, tentang Desi kecil. J
Desi kecil, setiap melihat awan selalu merasa awan itu sangat dekat, berada diujung jalan sana, dan nanti kalau mama sudah mengizinkan aku bepergian jauh,  aku akan mengunjunginya. Jangan sekarang, karena aku masih kecil, aku takut pada penculik dan orang-orang jahat. Lalu desi kecil mulai membayangkan dia bermain di dekat awan, menangkap capung dan kupu-kupu (ternyata sifat ‘drama queen’ itu sudah ada sejak dulu “--). Awan itu, aku akan memasukkannya kedalam toples dan ku bawa pulang, sesampainya dirumah akan ku minta mbak Nana yang pandai mengambar untuk mewarnainya.
Dulu, tanpa rasa malu aku mengutarakan keinginan bertamasya ke awan itu. Meski mbak Eka dan mbak Nana tertawa dan menjelaskan dengan ilmiah mengapa awan terlihat seperti lurus dengan kita meskipun kenyataannya awan berada jauuuuh di atas kepala kita. Hebatnya desi kecil tidak percaya pada mbak-mbaknya. Dia tetap percaya pada keinginannya sendiri. Tetap percaya bahwa nanti dia akan pergi ke awan, bahkan mbak Eka dan mbak Nana akan diajak pergi bersamanya, untuk membuktikan. Baru di Sekolah Dasar, setelah mendapatkan penjelasan dari guru bahwa bentuk bumi bulat, mengapa kapal yang berlayar di laut hilang dari pandangan, mengapa langit dan laut seperti menyatu, dan lain-lain, aku baru percaya bahwa mbak Eka dan mbak Nana benar. Tapi, aku tetap merasa bahwa keinginanku pergi ke awan juga tidak ada salahnya (tetep maksa). Ya Desi kecil masih berani mempertahankan keinginannya.
Lalu, dua pohon kersen. Tapi pohon yang berbeda, bukan disini, di depan kosku. Tapi pohon kersen disamping rumah. Dulu, mama tidak usah repot-repot mencariku, mama selalu menemukanku diatas pohon itu. Kalau teman-teman yang lain, misalnya bak Ila, diapnggilnya “il… mule! (pulang)” kalo aku, “de… toron! (turun)” :D
Dulu aku tidak takut ketinggian. Saat aku akan menaiki pohon, aku  yakin bahwa aku tidak akan jatuh. angin kencang mengoyang-goyang pohon, aku malah menikmatinya. Apalagi dari atas pohon itu aku bisa melihat matahari dan kawanan burung yang terbang dengan lebih jelas. Buah kecil dari pohon itu tidak ada yang tidak bisa ku jangkau. Aku ahlinya. Dan aku benar-benar akan lupa waktu, aku baru akan turun kalau sudah ada perintah turun dari mama, mbak, papa atau mbah.
Desi kecil, aku kangen… L

Aku mengingat-ingat, apakah masih ada yang tersisa dari Desi kecil? Oh my… I really miss my childhood. :’) karena waktu kecil dulu, segalanya terasa ‘mungkin’. J

tapi, tapi, ada anak perempuan yang lebih 'gak masuk akal' daripada Desi kecil. dan, semoga dia menjadi lebih luar biasa dari Desi kecil dan Desi yang sekarang, aamiin,

anak ini, ponakan perempuanku, Hurin Azifah Rizqin Arimy. hampir 5 tahun sudah berlari-lari disawah, mancing ikan di sungai, jualan amplop ke tetangga-tetangga, main bola sama anak cowok SMP tetanggaku, dan masih banyak lagi.

hash.... yeah.. anak-anak, no one can push them! :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar