Sore hari yang menganggur,
bagi ahlinya melamun dan menghayal sepertiku tidak ada yang lebih menyenangkan
dibanding duduk diam sendiri tanpa melakukan apapun.
Kalau ada yang
melihat posisiku saat ini, mungkin mereka akan mengira aku berlatih peran sebagai orang gila yang
dikurung dalam ruangan, atau seorang tahanan yang mendamba kebebasan. (cie gitu
banget sih) tapi menempelkan wajah dan tangan di teralis besi jendela kamar
sambil menatap kosong keluar itu benar-benar pose orang gila dirumah sakit jiwa
atau tahanan dalam penjara, De! Ya setidaknya itu yang ku lihat di film-film.
Aku sedang melihat
langit berawan yang mulai
berwarna-warni. Kurasa warnanya pink, ungu, orange, kuning, seperti terbakar,
entahlah. Dan dua pohon kersen di depan kos. Ya, hanya pemandangan itu yang
terbingkai oleh jendela kamar kosku. Eits, kali ini aku tidak menghayal
berjalan diatas awan atau memindahkan pohon-pohon itu ke dalam kamar, tidak.
Awan dan pohon itu hanya mengingatkanku, tentang Desi kecil. J
Desi kecil, setiap
melihat awan selalu merasa awan itu sangat dekat, berada diujung jalan sana,
dan nanti kalau mama sudah mengizinkan aku bepergian jauh, aku akan mengunjunginya. Jangan sekarang,
karena aku masih kecil, aku takut pada penculik dan orang-orang jahat. Lalu
desi kecil mulai membayangkan dia bermain di dekat awan, menangkap capung dan
kupu-kupu (ternyata sifat ‘drama queen’ itu sudah ada sejak dulu “--). Awan
itu, aku akan memasukkannya kedalam toples dan ku bawa pulang, sesampainya
dirumah akan ku minta mbak Nana yang pandai mengambar untuk mewarnainya.
Dulu, tanpa rasa malu
aku mengutarakan keinginan bertamasya ke awan itu. Meski mbak Eka dan mbak Nana
tertawa dan menjelaskan dengan ilmiah mengapa awan terlihat seperti lurus
dengan kita meskipun kenyataannya awan berada jauuuuh di atas kepala kita.
Hebatnya desi kecil tidak percaya pada mbak-mbaknya. Dia tetap percaya pada
keinginannya sendiri. Tetap percaya bahwa nanti dia akan pergi ke awan, bahkan
mbak Eka dan mbak Nana akan diajak pergi bersamanya, untuk membuktikan. Baru di
Sekolah Dasar, setelah mendapatkan penjelasan dari guru bahwa bentuk bumi
bulat, mengapa kapal yang berlayar di laut hilang dari pandangan, mengapa
langit dan laut seperti menyatu, dan lain-lain, aku baru percaya bahwa mbak Eka
dan mbak Nana benar. Tapi, aku tetap merasa bahwa keinginanku pergi ke awan
juga tidak ada salahnya (tetep maksa). Ya Desi kecil masih berani
mempertahankan keinginannya.
Lalu, dua pohon
kersen. Tapi pohon yang berbeda, bukan disini, di depan kosku. Tapi pohon
kersen disamping rumah. Dulu, mama tidak usah repot-repot mencariku, mama
selalu menemukanku diatas pohon itu. Kalau teman-teman yang lain, misalnya bak
Ila, diapnggilnya “il… mule! (pulang)” kalo aku, “de… toron! (turun)” :D
Dulu aku tidak takut
ketinggian. Saat aku akan menaiki pohon, aku
yakin bahwa aku tidak akan jatuh. angin kencang mengoyang-goyang pohon,
aku malah menikmatinya. Apalagi dari atas pohon itu aku bisa melihat matahari
dan kawanan burung yang terbang dengan lebih jelas. Buah kecil dari pohon itu tidak
ada yang tidak bisa ku jangkau. Aku ahlinya. Dan aku benar-benar akan lupa
waktu, aku baru akan turun kalau sudah ada perintah turun dari mama, mbak, papa
atau mbah.
Desi kecil, aku
kangen… L
Aku mengingat-ingat,
apakah masih ada yang tersisa dari Desi kecil? Oh my… I really miss my
childhood. :’) karena waktu kecil dulu, segalanya terasa ‘mungkin’. J
tapi, tapi, ada anak perempuan yang lebih 'gak masuk akal' daripada Desi kecil. dan, semoga dia menjadi lebih luar biasa dari Desi kecil dan Desi yang sekarang, aamiin,
anak ini, ponakan perempuanku, Hurin Azifah Rizqin Arimy. hampir 5 tahun sudah berlari-lari disawah, mancing ikan di sungai, jualan amplop ke tetangga-tetangga, main bola sama anak cowok SMP tetanggaku, dan masih banyak lagi.
hash.... yeah.. anak-anak, no one can push them! :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar