Lampuku
Kelap-kelip
cahaya hijau terbang perlahan. Makin tinggi, makin tinggi sampai menyentuh atap
putih kamar kosku. Aku tidur telentang di kasur, menatap lurus ke arah cahaya
hijau kelap-kelip itu. Menghela nafas sambil tersenyum. Mengamati cahayanya yang
sebentar redup, lalu menyala lagi.
Ahhh…
kunang-kunang. Hadir tepat waktu. Listrik padam malam ini. Kos gelap gulita,
dan kunang-kunang ini datang seolah bersedia menggantikan cahaya lampu.
Aku
ingat ada mitos tentang kunang-kunang. Mbah bilang kunang-kunang itu jelmaan
kuku orang mati, yang suka terbang dengan cahayanya dalam gelap. Setelah
mendengar itu, aku takut setiap kali melihat kunang-kunang. Saat hewan itu
menempel di dinding atau di atap rumah, aku langsung merinding lalu kabur
mencari siapa pun, mencari teman.
Ketakutanku
melawan kata hati yang merasakan keindahan melihat cahaya hijau itu. Memang
misterius rasanya melihat cahaya
kelap-kelip yang merayap dalam gelap. Hal itu juga yang menuntun langkahku ke
perpustakaan sekolah, mencari buku tentang kunang-kunang.
Aku
mendapatkannya. Kunang-kunang termasuk dalam jenis serangga. Aku tahu itu.
Golongan Lampyridae yang
merupakan familia dalam ordo kumbang Cleopatra. Ini pengetahuan baru. Dan dari
buku ini aku mengetahui bahwa memang sudah kodratnya kunang-kunang memancarkan
cahaya di malam hari. Hei, kau binatang kecil, Tuhan mentakdirkanmu dalam
takdir yang indah. Kau kecil, tapi selalu menarik perhatian.
Aku
berpikir. Mungkinkah dahuku kala, sebelum Thomas Alfa Edison menemukan bola
lampu, kunang-kunanglah yang memberi penerangan di malam hari? Di kampungku? Di
Negaraku? Di seluruh dunia?
Membayangkan
milyaran kunang-kunang beterbangan di langit hitam, pasti lebih indah dibanding
lampu-lampu kota. Betapa beruntungnya orang-orang yang hidup di masa itu, jika
memang begitu adanya. Dan, mbahku pasti bukan salah satu diantaranya, begitu
juga orang-orang dengan anggapan yang sama, kunang-kunang kuku orang mati. Hmm…
Kembali
pada kunang-kunang di atap kamar kosku, aku masih memandanginya. Menunggu cahanya
yang redup berpendar lagi dalam hitungan detik.
Ah,
aku jadi sadar, jarang sekali aku bisa melihat kunang-kunang. Tidak sesering
ketika aku kecil. Bisa jadi ini moment langka. Kunang-kunang hanya datang saat
lampu-lampu mati. Aku sedih bila mengingat kenyataan ini.
Kunang-kunang,
apakah cahaya benderang lampu-lampu mengalahkan cahayamu? Ataukah lampu-lampu
membuatmu malu untuk menampakkan diri? Merasa tak mampu bersaing dengan mereka?
Aku
menghela nafas. Merasakan rindu kampungku. Pada malam hari banyak kunang-kunang
terbang di halaman. Aku bebas menangkapnya, dan membiarkan cahaya itu berjalan
di telapak tangan kecil ku.
Kunang-kunang.
kau sumber penerangan terindah yang diciptakan Tuhan. Tolong jangan punah. Agar
anak cucuku juga bisa mengenal bola lampu hidup, yang terbang, yang merayap di
dinding-dinding kamar mereka kelak. Dan aku tidak akan mengulang mitos itu
kepada mereka. Biar kau tetap indah. :)