Senin, 18 Maret 2013

lampuku

Lampuku
Kelap-kelip cahaya hijau terbang perlahan. Makin tinggi, makin tinggi sampai menyentuh atap putih kamar kosku. Aku tidur telentang di kasur, menatap lurus ke arah cahaya hijau kelap-kelip itu. Menghela nafas sambil tersenyum. Mengamati cahayanya yang sebentar redup, lalu menyala lagi.
Ahhh… kunang-kunang. Hadir tepat waktu. Listrik padam malam ini. Kos gelap gulita, dan kunang-kunang ini datang seolah bersedia menggantikan cahaya lampu.
Aku ingat ada mitos tentang kunang-kunang. Mbah bilang kunang-kunang itu jelmaan kuku orang mati, yang suka terbang dengan cahayanya dalam gelap. Setelah mendengar itu, aku takut setiap kali melihat kunang-kunang. Saat hewan itu menempel di dinding atau di atap rumah, aku langsung merinding lalu kabur mencari siapa pun, mencari teman.
Ketakutanku melawan kata hati yang merasakan keindahan melihat cahaya hijau itu. Memang misterius rasanya  melihat cahaya kelap-kelip yang merayap dalam gelap. Hal itu juga yang menuntun langkahku ke perpustakaan sekolah, mencari buku tentang kunang-kunang.
Aku mendapatkannya. Kunang-kunang termasuk dalam jenis serangga. Aku tahu itu. Golongan Lampyridae yang merupakan familia dalam ordo kumbang Cleopatra. Ini pengetahuan baru. Dan dari buku ini aku mengetahui bahwa memang sudah kodratnya kunang-kunang memancarkan cahaya di malam hari. Hei, kau binatang kecil, Tuhan mentakdirkanmu dalam takdir yang indah. Kau kecil, tapi selalu menarik perhatian.
Aku berpikir. Mungkinkah dahuku kala, sebelum Thomas Alfa Edison menemukan bola lampu, kunang-kunanglah yang memberi penerangan di malam hari? Di kampungku? Di Negaraku? Di seluruh dunia?
Membayangkan milyaran kunang-kunang beterbangan di langit hitam, pasti lebih indah dibanding lampu-lampu kota. Betapa beruntungnya orang-orang yang hidup di masa itu, jika memang begitu adanya. Dan, mbahku pasti bukan salah satu diantaranya, begitu juga orang-orang dengan anggapan yang sama, kunang-kunang kuku orang mati. Hmm…
Kembali pada kunang-kunang di atap kamar kosku, aku masih memandanginya. Menunggu cahanya yang redup berpendar lagi dalam hitungan detik.
Ah, aku jadi sadar, jarang sekali aku bisa melihat kunang-kunang. Tidak sesering ketika aku kecil. Bisa jadi ini moment langka. Kunang-kunang hanya datang saat lampu-lampu mati. Aku sedih bila mengingat kenyataan ini.
Kunang-kunang, apakah cahaya benderang lampu-lampu mengalahkan cahayamu? Ataukah lampu-lampu membuatmu malu untuk menampakkan diri? Merasa tak mampu bersaing dengan mereka?
Aku menghela nafas. Merasakan rindu kampungku. Pada malam hari banyak kunang-kunang terbang di halaman. Aku bebas menangkapnya, dan membiarkan cahaya itu berjalan di telapak tangan kecil ku.
Kunang-kunang. kau sumber penerangan terindah yang diciptakan Tuhan. Tolong jangan punah. Agar anak cucuku juga bisa mengenal bola lampu hidup, yang terbang, yang merayap di dinding-dinding kamar mereka kelak. Dan aku tidak akan mengulang mitos itu kepada mereka. Biar kau tetap indah. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar