Hiasan
awan di langit mengihitam menjelma mendung. Aku berjalan secepat yang ku bisa
bahkan setengah berlari. Mendung diatas kepala seakan menandingi langkahku,
menggumpal seperti kapas kotor. Sesekali suara bergemuruh terdengar. Aku tidak
mau kalah. Ku percepat langkahku.
Namun
setetes air membasahi lenganku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan lainnya.
Baiklah, aku menyerah. Aku pun menepi demi menghindari guyuran air itu.
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, aku dikepung oleh hujan.
Hujan
ini membawa pikiranku jauh dari tempat ini. Tempat yang jarang ku pikirkan,
tapi begitu aku mengingatnya, maka aku akan langsung terserang rindu akut.
Samar-samar
hujan membentuk bayangan perempuan setengah baya yang ku rindukan. Pakaiannya
selalu kebaya dan sampir. Rambutnya yang memutih dibungkus dengan kerudung. Dia
adalah perempuan yang ku panggil mbah. Perempuan yang ku kagumi selain mama.
Perempuan yang kebijasanaannya melebihi papa. Hari ini, di diam-diam aku
merindukannya.
Aku
tidak bisa lepas dari ingatan akan mata sayunya yang selalu menatapku lembut.
Dia tak banyak bicara. Kami, cucu-cucunya lebih sering mendengar dia berbicara
untuk menasihati daripada memberi perintah. Bahkan dia sama sekali tidak ada
permintaan kepada kami. Yang sering ku dengar adalah kata-kata “Allah”,
“astaghfirullah”, “subhanallah” dan kata indah lain yang ditujukan kepada Tuhan
kami di sela-sela kegiatannya.
Ya,
dia memang tak banyak ucap. Dia tak banyak permintaan. Bahkan jika dia
merindukan aku, aku yakin dia tidak akan mengucapkan. Tapi aku bisa merasakan
semua luapan perasaannya dalam peluk dan cium hangatnya.