Kamis, 24 Mei 2012

Hiasan awan di langit mengihitam menjelma mendung. Aku berjalan secepat yang ku bisa bahkan setengah berlari. Mendung diatas kepala seakan menandingi langkahku, menggumpal seperti kapas kotor. Sesekali suara bergemuruh terdengar. Aku tidak mau kalah. Ku percepat langkahku.
Namun setetes air membasahi lenganku. Lalu disusul dengan tetesan-tetesan lainnya. Baiklah, aku menyerah. Aku pun menepi demi menghindari guyuran air itu. Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, aku dikepung oleh hujan.
Hujan ini membawa pikiranku jauh dari tempat ini. Tempat yang jarang ku pikirkan, tapi begitu aku mengingatnya, maka aku akan langsung terserang rindu akut.
Samar-samar hujan membentuk bayangan perempuan setengah baya yang ku rindukan. Pakaiannya selalu kebaya dan sampir. Rambutnya yang memutih dibungkus dengan kerudung. Dia adalah perempuan yang ku panggil mbah. Perempuan yang ku kagumi selain mama. Perempuan yang kebijasanaannya melebihi papa. Hari ini, di diam-diam aku merindukannya.
Aku tidak bisa lepas dari ingatan akan mata sayunya yang selalu menatapku lembut. Dia tak banyak bicara. Kami, cucu-cucunya lebih sering mendengar dia berbicara untuk menasihati daripada memberi perintah. Bahkan dia sama sekali tidak ada permintaan kepada kami. Yang sering ku dengar adalah kata-kata “Allah”, “astaghfirullah”, “subhanallah” dan kata indah lain yang ditujukan kepada Tuhan kami di sela-sela kegiatannya.
Ya, dia memang tak banyak ucap. Dia tak banyak permintaan. Bahkan jika dia merindukan aku, aku yakin dia tidak akan mengucapkan. Tapi aku bisa merasakan semua luapan perasaannya dalam peluk dan cium hangatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar