catatan ini, ditulis 27 Oktober 2010. sekarang, 25 September 2013.
"tak kan selamanya... tanganku mendekapmu. tak kan selamanya... raga ini menjagamu." lagu ini ku putar lewat MP3 handphone, dan liriknya juga berutar di otakku.
membuat teringat akan percakapan dengan mama siang tadi. "suatu saat kamu pasti sendiri. gak boleh bergantung dama orang lain. mama, papa, dan mbak-mbakmu itu, pasti akan pergi. kamu harus siap. harus mandiri."
"aku juga gak mungkin hidup selamanya kok ma" jawabku enteng.
memang akulah orang yang paling tidak sempurna secara sikap dan sifat dirumah ini. mudah marah, pemalas, ceroboh, dan satu-satunya yang tidak bisa diandalkan. tentunya posisiku sebagai anak bungsu sangat berperan dalam hal ini.
tanpa mereka aku tidak bisa menjadi sempurna. ibarat kaki, aku ini pincang dan mereka adalah tongkatku.
mandiri, mandiri, mandiri. itu saja menu makanan yang disajikan mama kepadaku. monoton. dan akan tetap sama sebelum aku menjadikan mandiri sebagai bagian diriku, seperti yang diinginkannya. heh.. mandiri! makhluk macam apa itu? bisakah datang sendiri, atau aku yang harus mencari?
"seperti alunan detak jantungku... tak bertahan melawan waktu." detak jantungmu dan detak jantungku sama. suatu saat pasti berhenti. jika kau bisa mati, maka aku juga. tapi sayangnya ini bukan tentang persamaan itu. ini tentang siapa yang akan pergi lebih dulu. begitu kan maksudmu, ma? ya, aku mengerti.
jadi kusimpulkan sendiri bahwa mandiri itu hal penting. juga hal sulit. juga hal rumit. untukku.
contohnya begini, pernahkah kalian terserang syndrom "I Hate Monday"? hal ini sering menimpaku saat hari itu tiba. masih berhubungan dengan ketidaksempurnaanku itu. selalu saja ada acara evakuasi korban tragedi kapal pecah yang terjadi di kamarku. pencarian korban berupa dasi, topi, kaos kaki, buku catatan dan hal-hal kecil namun fatal yang lainnya. dan tidak jarang upacara bendera setiap hari senin diawali dirumahku. mama mulai bernyanyi Indonesia Raya dengan nada dan lirik yang lebih meresap di hati. papa sebagai pembina upacaranya, yang memberikan nasihat serta kesan dan pesan. mbakku sebagai pembaca UUD 1945 dan mbakku yang satu lagi bertugas sebagai penggerek bendera putih ketidakberdayaanku.
sering juga aku berpikir untuk membuang jauh-jauh semua sifat negatif yang bersarang dalam diriku. namun rasanya seperti harus mencapai puncak himalaya saja. perjalanannya pastilah jauh dan melelahkan. tapi aku mau melakukannya. demi kamu dan untukk, ma.
karena jika kamu kecewa padaku, entah kenapa rasanya aku kesal pada diriku sendiri. jika kamu marah padaku, aku bukannya tak mendengarkanmu lalu pergi, tapi itu karena aku juga kecewa, aku juga marah sama sepertimu. bagaimana mungkin aku bisa menyakiti malaikatku? kenapa aku tidak bisa bersikap baik dan membahagiakanmu saja?
saat ini aku merasa sedang berjalan menuju puncak himalaya kehidupan. butuh waktu untuk sampai disana. tunggu saja aku di puncak, tersenyumlah dari atas sana sebagai penyemangatku.aku: yang masih terengah-engah ingin mencapai puncak, ingin menjangkau tangan mama yang melambai-lambai disana, yang masih tersenyum melihatku dari atas. :)